LeT You bEgiN yOur NeW liFe..In the RAVE wOrLd..

New world, a world filled with purpose, joy, and hope. everything is useful to achieve the maximum. or the RAVE want to make the impossible become possible to rouse the spirit, values, vision,and character of RAVE. make yourself useful anywhere, anytime,and any thing in the world that nothing is eternal

the cultivation of silkworms


Siapa bilang tubuh kecil berarti karena makannya sedikit. Hukum ini tidak berlaku untuk makhluk hidup kecil lain seperti ulat sutra. Meski posturnya tidak lebih besar dari ibu jari orang dewasa, hewan ini membutuhkan makanan sangat banyak.

Selain butuh makan yang banyak, ulat ini pun sangat selektif soal makanan. Dia hanya mau memakan daun murbei dan tidak daun lainnya. Tidak heran ulat sutra memiliki nama ilmiah Bombyx mori, yang berarti ulat sutra pohon murbei. Doyannya ulat sutra terhadap murbei, karena murbei menghasilkan enzim glukosida yang menyebabkan rasa ketagihan.

Kerakusan ulat sutra terhadap murbei, akibat masa hidupnya yang bermetamorfosa sebanyak empat kali selama satu bulan. Kebutuhan makannya terjadi sejak masih berupa telur dan berakhir ketika ulat mengeluarkan serat sutra dan membuat kokon (kepompong). Biasanya petani sutra harus menyediakan 18 karung daun murbei per hari dimana satu karungnya berkapasitas 100 kilogram. Sebanyak itu hanya untuk mengembangkan 25 ribu telur ulat sutra.

Karena kebutuhannya yang besar, jarang ada petani sutra yang mengembangkan ulat sutra berbarengan dengan penanaman murbei. Jika keduanya dilakukan, maka dibutuhkan areal tanah yang luas untuk menanam murbei. Selain itu, penanaman murbei juga membutuhkan jumlah air yang besar. Lokasi penanaman pun harus berada di ketinggian 700 meter dari permukaan laut.

Hanya sedikit yang mampu melakukan teknik keduanya. Di Padepokan Dayang Sumbi, pemiliknya melakukan dua aktivitas pertanian; menanam murbei sekaligus mengembangbiakan ulat sutra. Padahal arealnya tidak terlalu besar.

"Kami punya areal tanah seluas 2 hektar. Sekitar 1,5 hektar tanah kami digunakan untuk menanam murbei," kata Dedi Agus Wirantoro (38), pengelola Padepokan Dayang Sumbi.

Dedy sengaja sengaja melakukan dua aktivitas tersebut. Karena seperti tujuan awalnya bahwa padepokan ini bukan sekadar pabrik kain sutra, melainkan sebagai wisata pendidikan untuk anak-anak.

Dedi mengaku, areal pertanian murbei dengan jumlah ulat belum sebanding. Karena itu, Dedi mengatakan menggunakan penamanan dengan sistem blok. Masing-masing blok bisa melakukan panen sebanyak satu kali dalam satu tahun. Di tempat Dedi ada tiga blok, sehingga bisa melakukan panen tiga kali

"Sistem blok juga bisa memberikan kesempatan pengunjung menyaksikan metamorfosa ulat selama satu tahun penuh," ujarny.

Kalah dari Cina

Varietas ulat sutera yang dibudidayakan di Padepokan Dayang Sumbi adalah varietas varietas Jepang. Varietas ini merupakan varietan umum yang dikembangkan kebanyak petani sutra di Indonesia. Varieta ini mampu menghasilkan 1.600 meter benang sutera per satu kepompong ulat sutra. Diakui Dedy, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan varietas Cina yang satu kepompongnya bisa menghasilkan 3.000 meter benang sutera.

Dedy mengatakan kapasitas produksi di tempatnya hanya mampu menghasilkan 70 meter kain sutra jadi per satu kali panen. Jumlah itu diperoleh dari sekitar 70 kilogram kepompong dari satu kali panen. Dengan proses produksi seperti itu, wajar saja harga sutra menjadi lebih mahal ketimbang jenis kain lainnya.

Diakui Dedi, teknologi Cina dalam budidaya ulat sutera memang lebih unggul. Selan itu pemerintah Cina pun cukup serius dalam pengembangan budidaya ulat sutera ini. Wajar saja, karena negeri tirai bambu itu merupakan negara pertama yang membudidayakan ulat sutera.

Sumber : http://bandung.detik.com/read/2009/02/23/171730/1089232/668/ulat-sutera-binatang-yang-rakus

Ulat Sutera, Harapan Baru Bagi Lahan Kering

Desa Sumur, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal mungkin mempunyai lahan yang sulit ditanami tanaman produktif bernilai ekonomi tinggi, seperti padi atau palawija. Namun, warga desa menemukan alternatif tanaman yang dapat tumbuh dengan baik, yakni pohon murbei (Morus alba L), dan lebih lanjut, mengembangkan budidaya ulat sutera.

“Kondisi lahan di desa kami tidak terjangkau saluran irigasi, jadi sulit untuk menanam tanaman produktif. Ini adalah salah satu alasan perekonomian warga desa kami sulit berkembang. Belakangan kami menemukan bahwa pohon murbei bisa menjadi alternatif tanaman yang dapat dikembangkan dengan kondisi lahan seperti ini,” ujar Ngadri (50 tahun) warga Desa Sumur.

Menurut Ngadri, ulat sutera memang tidak dapat dipisahkan dari pohon murbei. Pria yang sudah menekuni budidaya ulat sutera selama lima tahun terakhir ini mengaku, kebutuhan hidup keluarganya tercukupi berkat usaha memintal benang ulat sutera.

Semua berawal dari rasa frustrasi Ngadri terhadap kondisi lahan yang kering dan sulit ditanami sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Untuk itu, ia memutuskan merantau. Ia berkelana ke Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sini, ia mulai menekuni budidaya ulat sutera.

Bermodalkan informasi yang didapat dari rekannya di Tasikmalaya tentang bagaimana memulai usaha budidaya ulat sutera, ia pun mengajukan proposal sederhana ke Departemen Kehutanan Kendal. Singkat cerita, gayung bersambut. Proposal yang diajukannya mendapat respon positif dari departemen kehutanan, dengan memberikan bantuan modal berupa bibit pohon murbei dan media/kotak pembesaran ulat.

“Yang terpenting, mengawali budidaya ulat sutera adalah menjamin ketersedian pakan pohon murbei yang cukup. Pohon murbei harus disiapkan (ditanam) empat bulan sebelum memulai budidaya ulat sutera,” urai Ngadri.

Kepompong ulat sutera sebagai bahan baku benang suteraMenurutnya, budidaya ulat sutera sangat prospektif, karena pangsa pasarnya masih terbuka luas. Apalagi, modal awal juga tidak terlalu besar, sehingga budidaya ulat sutera ini dapat sebagai solusi alternatif bagi wilayah-wilayah yang memiliki lahan kering atau lahan yang mengandalkan tadah hujan sebagai pengairannya.

Pohon murbei, sebagai pakan ulat sutera, tidak memerlukan pengairan yang cukup banyak. Hanya saja, pada awal tanam untuk derah lahan kering, sebaiknya dimulai pada musim penghujan. Setelah tumbuh baik, selanjutnya hanya tinggal pemeliharaan, tanpa menguatirkan pengairannya.

Perlu diketahui, modal awal berupa pohon murbei sekitar 7.000 batang adalah untuk sekali tanam (per kotak benih/telur ulat sutera) dan terus berlanjut hingga seterusnya. Begitu juga dengan media/kotak pembesarannya, cukup dibuat sekali, untuk seterusnya. Kemudian, harga satu kotak benih/telur urat berisi 25.000 butir telur, dapat dibeli seharga Rp 50.000. Dari satu kotak itu, kepompong yang bisa dihasilkan adalah seberat 40 – 50 kilogram. Kisaran harga kepompong sendiri adalah Rp 30.000 – Rp 35.000 per kilogram kepompong. Siklus ulat sutera mulai dari menetas telur hingga menjadi kepompong adalah 25 hari. Dan, berapapun jumlah kepompong yang dihasilkan, pasar selalu siap menerimanya.

Melihat hasil yang cukup memuaskan, dengan tingkat resiko yang sangat kecil, sudah sepantasnya budidaya ulat sutera ini menjadi alternatif solusi yang harus didukung semua pihak guna meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, di tengah kondisi makin melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.

Benang hasil pemintalan kepompong ulat suteraSebagai langkah awal, melalui pelaksanaan bazaar PJM Pronangkis tingkat Kabupaten Kendal yang diselenggarakan pada 5 Mei 2008 lalu, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Desa Sumur mengangkat “ulat sutera” sebagai salah satu program yang ditawarkan untuk dapat dimitrakan dengan berbagai pihak, baik pemerintah daerah (dinas-dinas) maupun swasta. Usaha ini mendapat tanggapan yang baik dari Pemerintah Kabupaten Kendal, dengan mendukung semua upaya untuk dapat mengembangkan budidaya ulat sutera.

Kini, ada 31 warga Desa Sumur yang mengikuti jejak Ngadri dalam menggeluti budidaya ulat sutera. Hal ini menjadi embrio yang baik bagi terbentuknya Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk dapat mengembangkan ulat sutera, yang tidak hanya sebatas membudidayakan, melainkan juga mengolahnya menjadi benang.

“Harapan saya lebih lanjut adalah (Desa) Sumur dapat menjadi sentra budidaya ulat sutera yang dapat dikenal masyarakat luas,” tegas Ngadri.

Sumber: http://www.p2kp.org/
Media Swara Mandiri, Kendal/Hadi Purwanto, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)

Budidaya Ulat Sutera

Budidaya ulat sutera merupakan salah satu usaha yang dapat ditekuni. Bila dilakukan dengan tata cara yang benar, usaha ini menjanjikan keuntungan.

Selain menghasilkan benang sutera, usaha ini juga dapat diteruskan hingga ke bagian hilirnya, yaitu tenun sutera, sehingga menghasilkan berbagai jenis kain sutera yang halus dan indah.

Salah satu lokasi budidaya ulat sutera dan penenunan kain sutera terdapat di Ciapus, Bogor, Jawa Barat. Pemiliknya Tatang Gozali Gandasasmita.

Rumah Sutera Alam dapat dicapai dari Kota Bogor dengan mengambil arah ke Bogor Barat, ke Kawasan Empang. Kemudian dilanjutkan ke kawasan Ciapus.

Di areal seluas 2 hektar inilah, Pak Tatang Gozali mengembangkan budidaya ulat sutera mulai dari pemeliharaan pohon murbey. Daun murbey digunakan untuk makanan ulat sutera.

Pohon murbey dapat tumbuh subur di berbagai ketinggian tanah, asalkan tanahnya cukup subur dan mendapatkan penyinaran matahari yang cukup.

Bibitnya diperoleh dengan cara distek. Terdapat beberapa jenis pohon murbey, seperti catayana, multi coulis, canva, nigra dan lembang. Daun murbey dapat dijadikan pakan ulat sutera setelah berusia 3 bulan.

Proses budidaya ulat sutera dimulai dari rumah ulat kecil. Ruangan ini harus steril, karena itu saat masuk kedalamnya pengunjung harus mencuci tangan. Di ruangan ini terdapat alat inkubasi telur ulat dan pembiakan ulat kecil. Dari telur hingga berkembang menjadi ulat yang menghasilkan kepompong memerlukan waktu sekitar 15 hari.

Setelah cukup besar, ulat dipindah ke ruangan lain untuk menghasilkan kepompong. Dalam waktu 28 hari ulat sutera akan berubah menjadi kepompong atau kokon.

Kepompong inilah yang nantinya akan ditenun menjadi benang sutera. Kualitas kokon yang dihasilkan sangat ditentukan kesehatan ulat dan kualitas pakannya. Ada beberapa hama yang harus dihindari, yaitu kadal, cicak, tikus dan semut.

Sebelum diolah, kokon direbus dalam air panas dengan suhu 85 derajat celcius selama dua puluh menit. Kemudian ditiriskan dan disikat. Kini kokon siap dipintal menjadi benang sutera.

Pemintalan dilakukan dengan alat pintal tradisional. serat sutera ditarik hingga menjadi benang. Sebanyak 10 kilogram kokon akan menghasilkan sekitar satu kilogram benang sutera.

Benang sutera kemudian ditenun menjadi kain dengan menggunakan alat tenun bukan mesin. Proses penenunan dilakukan dengan peralatan sederhana dengan cara manual. Penenunnya tenaga kerja yang sudah sangat terampil, sangat sehingga menghasilkan kain sutera yang berkualitas.

Kain sutera yang telah ditenun kemudian diletakkan di ruangan penyimpanan. Berbagai motif kain sutera dihasilkan sesuai permintaan pasar. Sangat mudah untuk membedakan antara kain sutera asli ini dengan yang sintetis.

Kain sutera ini dipasarkan ke Jawa Barat dan Jakarta, serta berbagai kota-kota lain di Indonesia. Permintaan yang besar membuat pak tatang kewalahan memenuhi seluruh pesanan. (Helmi Azahari/Ijs)

Sumber : http://masjamal.blogdetik.com

Budidaya Ulat Sutera, Murbei & Peluang ekonominya

Tidak saya lupakan. Pada suatu siang pulang sekolah, dengan membawa sekeranjang daun murbei, saya mendapatkan puluhan ulat sutera yang dipelihara dengan penuh kasih dan harapan, mati bergelimpangan, di kerumuni beribu-ribu semut. Ya ampun! malapetaka apakah yang lebih menyedihkan seorang murid kelas 5 Sekolah dasar, selain kematian hewan-hewan piaraan yang begitu di sayang?

Lagipula, ulat sutera murbei Bombyx mori itu sudha memberikan harapan akan menghasilkan kokon warna-warni. Bukan hanya kuning (seperti umumnya); tapi juga biru, hijau muda, putih, orange dan ungu. Sekarang Sebagian besar mati, mengenaskan, di mangsa ribuan semut. Itulah hama nomor satu bagi petani ulat sutera, selain tikus, burung, dan cecak.

Belum ada petunjuk bahwa untuk memelihara ulat sutera perlu rumah yang bersih, disemprot formalin dan desinfektan. Kelembabannya pun harus di jaga dengan karung-karung basah, dan seterusnya. Balai benih dan pusat-pusat pelayanan pengembangan ulat sutera belum menjamur seperti sekarang.

Sekarang, pemeliharaan ulat sutera sudah berkembang di mana-mana. Kalau kita baca di situs BDSP (Business Development Service Provider), di kabupaten Bogor, Ciamis, Tasikmalaya, dan seputarnya saja puluhan lembaga berurusan dengan ulat sutera. Ada koperasi petani pengrajin Ulat sutera (Koppus) Sabilulungan. Ada pengerajin sutera Priyangan, Persuteraan Cibeureum, dan puluhan lagi. Semua berdedikasi tinggi. Ada yang baru aktif setelah 2000-an, namun ada yang berpengalaman sejak 1970-an.

Bahkan ada yang lebih berpengalaman lagi, seperti industri sutera alam yang di pelopori oleh Aman Sahuri, di Garut sejak 1961. Sekarang usaha itu berkembang, menampung lebih dari seratus karyawan dan menghasilkan sekitar 5.000 meter kain sutera dalam sebulan. Tanpa di dukum petani yang ulet dan berproduksi rutin, mustahil perusahaan dengan peralatan yang cukup lengkap itu bisa memasok produknya ke Bandung, Jakarta, bahkan Bali. Jangan lupa, ia hanya salah satu di antara hampir seratus lembaga yang terkait dengan persuteraan di Indonesia.

Di daerah-daerah beriklim lembab, termasuk Temanggung (Jawa Tengah), Soppeng dan Bili-bili (Sulawesi Selatan) terkenal sebagai penghasil ulat sutera sampai sekarang. Sejarah menunjukkan, sudha lama ulat sutera tidak hanya penting bagi perekonomian negara besar (India, China, Jepang) tapi juga petani kecil di pedesaan.

Berapa nilai ekonomi satu kilogram sutera mentah? harga normal berkisar antara Rp. 25.000 sampai Rp.30.000. Nanun kalau anjlok bisa tinggal Rp. 17.500. Itu terjadi akibat serangan virus pebrine, yang membuat peternakan ulat sutera di bandung terpuruk awal 2005. Akibatnya? industri sutera di Jawa Barat jadi semakin tergantung pada baha mentah dari China. Harga benang sutera olahan impor bisa Rp. 310.000,- per kg, sednagkan benang sutera olahan kepompong lokal hanya Rp. 240.000,-.

Meskipun begitu, cukup menggiurkan petani. Hitung saja, dengan modal 1 box berisi 25.000 telor benih berharga Rp. 60.000,- dalam waktu 25-32 hari petni dapat memanen hingga 20 kg kopompong sutera mentah. Tidak perlu lahan luas, cukup 20-50 meter persegi. Pakan yang diperlukan sekitar 700 kg daun murbei segar. Bila pemeliharaannya baik, menurut Rudi Wahyudin, pakar agrotek dari Institut Pertanian Bogor (IPB), panen bisa di tingkatkan hingga 40 kg. Tergantung pada bibit, pakan, cuaca, dan konstruksi rumahnya.

Nah, rumah untuk inilah yag perlu modal. Satu rumah ulat idealnya perlu biaya Rp. 20 juta.

Padahal peternakan ulat sutera sesungguhnya multiguna. Ia bisa berfungsi ekologis- melestarikan alam dan industri ramah lingkungan. Bisa juga bernilai ekonomis dan sekaligus susio-kultural. Kain sutera membuka kegiatan sosial bernilai budaya tinggi dan berdampak langsung pada kesehatan. Serat sutera bersifat higroskopis, menghalangi terpaan sinar ultraviolet, menjaga kekenyalan kulit, dapat di manfaatkan sebagai bahan kosmetik maupun industri pengobatan.

TEH MURBEI DAN EKOLOGI

Penulis diktat Budidaya Ulat Sutera, Mien Kaomini, mengingatkan, perkebunan murbei juga memberikan produk sampingan yang bernilai ekonomi maupun ekologi. Pertama murbei mengandung banyak bioaktif sehingga dapat digunakan sebagai obat alternatif berupa teh daun murbei. Kedua: buahnya dapat dikonsumsi. Sedangkan ketiga: batangnya dapat digunakan untuk media bertanam jamur. Menurut aktifis Kelompok Peneliti Persuteraan dari Bogor itu, limbah peternakan sutera dapat di proses menjadi hasil ikutan antara lain klorofil dari kotoran ulat, serbuk larva, protein pupa, serbuk sutera.

Jadi produk utama adalah daun, buah dan kayu murbei. Di Nepal, pemerintah mendistribusikan bibit murbei sebagi langkah pertama untuk mengembangkan industri sutera. Dalam tahun 2004; misalnya, tak kurang dari satu juta bibit murbei dibagikan di seluruh negeri, guna mengejar target produksi 6.000 kg kokon atau kepompong. Para petani di lereng Himalaya itu percaya bahwa budidaya ulat sutera sangat cocok di lahan-lahan terjal. Jangan heran kalau 180 petani dengan 9 perkebunan murbei dapat menghasilkan 600 kg sutera mentah dalam setahun.

Thailand juga menggunakan perkebunan dan penenunan sutera rakyat sebagai atraksi pariwisata. Pada akhir november hingga awal desember biasa diadakan festival sutera di desa-desa yang menghasilkan kepompong. Begitu juga di Vietnam. Peternakan ulat sutera relatif tidak memerlukan tempat luas. Kandang ulat yang memerlukan lembar-lembar bambu dapat disusun. Wisatawan bisa menikmati mulai dari pemeliharaans ampai proses produksi, pemintalan benang dan penenunan kainnya.

Masalahnya di Indonesia, lahan murbei belum cukup tersedia, bibit ulat sutera sudah melimpah. Akibatnya ulat menetas dan kurang pakan. Satiap satu boks telur ulat, paling sedikit perlu 50 meter persegi kebun murbei. Dan itu harus ditanam dulu. Kalau ulat kurnag pakan, lama sekali baru mau bikin kepompong. Yang biasanya 25 hari sudah memintal benang kepompong, bisa jadi 40 hari. Hasilnya pun tipis dan tidak optimal. Jadi, kebun murbei perlu di kembangkan, sekaligus sebagai sarana penghijauan ditebing-tebing sungai. Itulah yang membuat industri ulat sutera di Temanggung berjalan kencang.

Pohon murbei yang bernama latin Morus alba L dan Mandarin, Sang ye, tidak hanya disukai ulat sutera, tapi juga bermanfaat bagi manusia. Daun mudanya enak di sayur, berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi, memperbanyak susu ibu, membuat pengelihatan lebih terang, dan meluruhkan kentut. Buahnya, dalam bahasa mandarin disebut sang shen, bermanfaat untuk memperkuat ginjal dan meningkatkan sirkulasi darah. Paling praktis, buah murbei adalah pencahar, untuk menghilangkan sembelit dan mengatasi gangguan pencernaan. Di Tiongkok, orang percaya buah murbei dapat mempertajam pendengaran.

Kulit pohon murbei juga biasa di jadikan obat. Nama China-nya sang pei pi, dapat mengobati penyakit asma, sesak nafas, muka bengkak dan batuk. Begitu menurut Sinshe Chang, yang membuka toko obat tradisional di Pekalongan, purwokerto, Tegal, dan beberapa kota lain di Jawa Tengah. Ia juga memberikan resep, daun murbei dapat di pakai sebagai obat kalau digigit serangga, atau di tumbuk halus, dipopokkan pada luka. Akarnya bisa direbus sebagai penawar demam.

Di Jawa Tengah, pohon murbei, banyak ditanam di Temanggung dan Jepara. Tingginya, maksimal bisa mencapai 9 meter. Bagi banyak orang tanaman dari Tiongkok ini bisa tampak sebagai perdu, semak-semak atau sekedar pagar. Namun, di Ithaca, New York, Amerika Serikat, saya pernah melihat dan memanjat pohon murbei yang sudah berumur 150-an tahun. Mulberry itu tidak terlalu tinggi, tapi pokoknya hampir sebesar pelukan orang dewasa. Buahnya banyak sekali. Pemiliknya seorang Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson!

Pohon itu memberi inspirasi bahwa kalau di pelihara dengan baik dan tidak di tebang, murbei pun bisa besar dan indah. Namun demikian, dalam pengembangan pohon murbei harus di perhatikan faktor ekologinya.

Potensi industri ulat sutera sebenarnya besar. Apalagi jika menyangkut budidaya selendang sutera, batik sutera, benang sutera dan lain-lain, yang pengerajinnya meluas di berbagai pedesaan.

Murbei mungkin tidak pernah menjadi primadona seperti pohon buah merah yang berkibar sebagai berita. Namun, potensinya sebagai bahan farmasi, tidka boleh diabaikan. Demikian juga buahnya, terutama produk sampingannya: ulatsutera. Kalau saja produksi kain sutera mencukupi, harga kain batik dan baju bodo pun tidak perlu melambung tinggi dan sukar di dapat.

sumber: Majalah Trubus.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar